Kamis, 30 Juli 2009

Kecerdasan Emosi

UA salesman, sebut saja Badu dan Polan, sama-sama bekerja di perusahaan consumer goods. Tingkat kecerdasan (IQ) mereka relatif sama. Kesempatan untuk pengembangan diri melalui kuliah sore untuk peningkatan kompetensinya tampaknya lebih banyak dilakukan oleh Badu, sementara Polan karena kesibukannya menjual tidak memiliki kesempatan serupa.

Namun, ternyata bertambah luasnya pengetahuan Badu tidak sebanding dengan caranya membawakan diri di tengah-tengah tim kerjanya.
Seringkali dia sok pintar dan memotong pembicaraan orang tanpa mengenali dulu isi pembicaraan tersebut. Di hadapan pelanggan pun demikian. Banyak keluhan yang muncul dari pelanggan terhadap pelayanan Badu hanya karena masalah sepele, seperti menunjukkan raut muka tidak bersahabat ketika pelanggan mengeluh atau membanting telefon ketika transaksi ditunda dan sebagainya. Alhasil, Badu semakin tidak disenangi pelanggan maupun rekan-rekan karyawan.

Sementara si Polan yang notabene tidak memperoleh tambahan pengetahuan untuk mengembangkan diri ternyata memiliki tingkah laku yang berbeda dalam membina relasi. Dia lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Baginya, pelanggan adalah orang yang harus didengarkan dan dilayani sungguh-sungguh. Bahkan, di hadapan rekan-rekan kerja dan pimpinannya, dia memosisikan diri sebagai "pelayan".

Polan tahu bagaimana membagi waktu yang proporsional antara kepentingan pribadi dan perusahaan. Ketika ia memegang uang hasil transaksi penjualan, dia mampu membuat pos tersendiri agar tidak berbaur dengan uang pribadinya. Di tengah-tengah unit kerjanya, dia adalah salesman yang disenangi. Alhasil, dalam waktu yang tidak terlalu lama, si Polan telah dipromosikan menjadi sales supervisor mendahului rekan seangkatannya, Badu.

Ilustrasi di atas menunjukkan sekilas bahwa kecerdasan emosi (emotional intelligence) Polan lebih menonjol daripada Badu. Daniel Goleman (1999) mengatakan bahwa kecerdasan emosi (EQ) merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. EQ ini memiliki kemampuan yang berbeda, namun demikian akan saling melengkapi dengan IQ, sebagaimana yang sudah kita kenal. Namun demikian, tidak selalu berjalan secara paralel. Tidak semua individu yang memiliki IQ yang menonjol akan memiliki EQ yang menonjol pula.

Selanjutnya Daniel juga memberi istilah kecakapan emosi yang merupakan hasil belajar yang didasarkan kecerdasan emosi (EQ) dan karena itu menghasilkan kinerja menonjol dalam pekerjaan. Kecakapan emosi sendiri menurut Beliau dibagi dalam dua hal, yakni kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Kecakapan pribadi ini akan menentukan bagaimana kita mengatur diri sendiri yang mencakup kesadaran diri (self awareness), pengaturan diri (self regulation), dan motivasi (motivation).

Posting ini diambil dari rubrik "Solusi Management & Marketing", artikel ini adalah sumbangan dari seorang pakar sekaligus
pengamat sumber daya manusia, Parlindungan Marpaung, S.Psi., M.T..
Atas kesediaannya berbagi pengetahuan dan pengalamannya yang
berharga, kami mengucapkan terima kasih.

Semoga Bermanfaat...

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | free samples without surveys
Blogger Templates brought to you by AllBlogTools.com