Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan lihatlah masa lalu kalian sebagai acuan untuk masa depan kalian (Q.S. Al-Hasyr [59]: 18).
Tentang masa, selalu ada trikotomi yang membagi masa ke dalam masa lalu, masa kini, dan masa depan. Masa lalu adalah setiap hari, jam, menit, detik bahkan sepersekian detik yang telah berlalu dari saat ini. Maka masa lalu adalah bentangan panjang sejarah yang menampilkan berbagai kisah dan timbunan teori. Masa lalu adalah seluruh isi kurikulum pelajaran sejarah, mulai dari masa ketika bumi terbentuk, atau bahkan kehidupan sebelumnya, masa ketika dinosaurus berkuasa, masa para Nabi, masa Airlangga, masa Gadjah Mada, masa Jenderal Sudirman, masa Suharto, masa Habibie, masa Gus Dur, masa Megawati, bahkan separuh masa SBY sampai ketika kita selesai menghembuskan nafas kita sepersekian detik yang lalu.
Lantas masa kini? Masa kini adalah saat ini dimana kita ada , dan ia tak lebih dari sedetik yang di dalam detik itu kita “ada”, atau bahkan ia tak lebih dari sepersekian detik dimana kita “ada”. Bahkan bisa jadi, masa kini adalah satu ketiadaan, karena sepersekian detik setelah kita melakukan sesuatu, bahkan setelah kita selesai menghembuskan nafas terakhir kita telah masuk ke dalam bentangan masa lalu. Dan masa depan adalah setiap yang belum kita alami dan akan kita alami setelah sepersekian detik kita melakukan sesuatu.
Sehingga satu-satunya masa yang jelas dan pernah kita saksikan adalah masa lalu, karena masa kini dan masa depan adalah sesuatu yang belum pernah kita saksikan. Sehingga wajar kalau kemudian Allah menyuruh orang orang beriman belajar dari masa lalu untuk merenda masa depan, karena masa kini adalah ketiadaan dan masa depan adalah khayalan kecuali bahwa ruh kita akan meloncat dari raga ini di masa depan, entah bertahun-tahun yang akan datang atau bahkan beberapa detik yang akan tiba.
Maka secara metodologis, upaya merumuskan berbagai hal di masa depan mau tidak mau harus mengacu kepada kondisi masa lalu, sebagai satu cermin yang memantulkan realitas dan mengandung pesan tentang mana yang harus diperbaiki, mana yang harus ditingkatkan, mana yang harus diperlakukan demikian dan demikian dan seterusnya.
Kita, sebagai Muslim, sebagai orang Indonesia, sebagai diri individu, adalah bentangan masa lalu yang menumbuhkan setiap sel dan setiap elemen hingga menjadi sedemikian rupa kita adanya. Masa lalu umat Islam adalah sebuah kurva yang kian lama justru kian menurun oleh terjangan gelombang modernitas. Bagaimana mentalitas profetik yang diwariskan para Nabi kian lama kian terkikis oleh kemilau platinum yang sebenarnya hanya ada dalam onggokan kepala kita. Mimpi-mimpi modernitas kita anggap sebagai kenyataan yang pada akhirnya melumpuhkan mentalitas para Nabi yang secara potensial ada dalam diri kita umat Islam. Oleh modernitas yang kemilau, ruang pusaka dalam batin kita telah dimasuki tikus yang menggerogoti segala dampak sentuhan ayat-ayat Tuhan yang membekas dalam lubik sanubari kita.
Maka umat Islam yang dahulunya “asing”, dengan kuantitas yang sedikit dan kualitas yang banyak, kini menjadi “asing” dengan kuantitas yang besar dan kualitas yang kecil. Maka keberuntungan, kemenangan itu kini tak lagi menjadi milik semua. Keberuntungan itu adalah milik mereka yang mampu bertahan dalam ke-asing-annya melawan tikus-tikus yang kian menyerbu ruang pusaka diri kita.
Sebagai
Sebagai diri individual kita, hanya kitalah yang tahu (dan Gusti Allah tentu saja) bagaimana masa lalu yang pernah kita jalankan dan layak untuk kita jadikan “cermin” sebagai acuan merenda masa depan. Yang jadi masalah kemudian apakah kita sudah benar-benar menimbang segala aspek dalam diri kita? Dosa-dosa kita? Keburukan vs kebaikan kita? Mana yang kira-kira lebih berat? Watak macam apa yang harus ditingkatkan dan watak macam apa pula yang harus kita kekang? Semua perlu cermin yang bernama masa lalu. Dan masa lalu itu (perlu diingat), tak terbatas pada apa yang ada dalam diri kita semata, melainkan juga terkait dengan berbagai singgungan, interaksi yang kita jalin dengan segenap lingkungan kita, baik yang tampak maupun yang tak tampak.
***
Biar diskusi kita tak terlalu meluas (saya katakan diskusi karena saya senantiasa membayangkan wajah anda semua ketika menulis), saya berusaha mambatasi konteks pembicaraan kita sebatas pada diri kita sebagai individu, tak perlu gumedhe sebagai
Padahal, kalau saya boleh agak merasa ngeri, ikrar syahadat yang kita ucapkan tersebut mengandung satu konsekuensi logis bahwa kita siap untuk meninggalkan segala “tuhan-tuhan” yang ada di dunia dan secara totalitas menyerahkan diri kita kepada Tuhan yang Satu. Dan jangan bayangkan yang dimaksud “tuhan-tuhan” itu seperti berhala sapinya Samiri, atau berhalanya Fir’aun, bahkan Namrudz. Saat ini bisa jadi “tuhan-tuhan” itu adalah konsepsi kita tentang harta kekayaan, kekuasaan, arogansi individual dan lain sebagainya yang kita letakkan melebihi nurani keTuhanan kita sendiri. Rasionalitas kita seringkali mengantarkan kita untuk ngakali Tuhan dan melogikakan berbagi hal dengan harapan agar hal tersebut terasa nyaman bagi kita tanpa memunculkan rasa bersalah akibat pelanggaran yang sebenarnya disadari oleh hati kecil kita.
Konsepsi syahadat pada dasarnya adalah satu ikrar untuk mengikat rasio kita dan menjadikannya alat yang menuntun kita menuju jalan cahaya, sebuah jalan terjal yang harus ditempuh dengan tatih-tatih derita karena apa yang kita jalani seringkali bertentangan dengan keinginan hawa nafsu keduniaan kita. Maka ketika telah terucap lafadz “Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah,” seketika terhentilah segala proses rotasi dan revolusi partikel-partikel dalam diri kita. Karena ucapan itu menuntut satu konsekuensi yang sama sekali tidak mudah dalam konstelasi kehidupan kita. Bagaimana kita katakan mudah? Lha wong ketika para manusia tengah sibuk memperbudak diri di hadapan dunia, kita harus menahan segala deru nafsu atas semua itu.
Maka, sedikit demi sedikit kita upayakan perbaikan dengan mengaca pada masa lalu kita masing-masing. Nggak usah terlalu mbagusi seolah-olah kita optimis akan memperoleh surga-Nya, yang penting bagaimana sedikit demi sedikit kita belajar melunasi hutang kebohongan kita atas berbagai ikrar transendental yang kita ucapkan. Iyya-Ka na’budu wa iyya-Ka nasta’iin, sebaiknya segera juga kita tepati. Bukan dalam artian kalau sakit kita nggak perlu ke dokter lantas hanya berdoa saja. Bukan berarti pula kalau mau pintar kita gak perlu belajar, tapi ini adalah bagaimana kita memosisikan segala komponen diri kita, ya akal kita, ya hati kita, ya tubuh kita kepada satu keyakinan bahwa yang menjadi faktor dari semua hal tak lain dan tak bukan adalah Allah, apapun itu. Jadi jangan terlalu yakin bahwa ketika sehelai daun itu jatuh atau ketika kepala anda tiba-tiba kejatuhan kotoran burung, itu adalah perkara yang sifatnya independen dan tanpa campur tangan Faktor itu tadi. Tapi yakinlah, ketika anda selamat setelah motor anda keserempet truk, maka dibalik itu semua ada faktor, ALLAH!
0 komentar:
Posting Komentar